PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI AL-GHAZALI TENTANG TASAUF
Pada abad kelima hijriyah, lahirlah seorang tokoh tasawuf besar yaitu Al Ghozali, beliau adalah seorang yang mampu memadukan tasawuf dengan filsafat secara seimbang. Masa itu adalah masa dimana banyak sekali terjadi fanatisme mazhab yang berlebihan, dan menuduh bid’ah serta kafir setiap orang yang tidak mau menerima faham dan keyakinannya.
Beliau juga merupakan sosok manusia yang mempunyai kharisma yang mampu memunculkan sebuah fenomena tersendiri ditengah kondisi keberagamaan manusia yang sedang penuh dengan konflik internal. Ditengah perseteruan dahsyat yang terjadi antara kelompok sunni serta kelompok sufi, ia hadir dengan upaya pencarian jalan damai antara keduanya. Dengan karyanya yang monumental yaitu Al Ihya Ulum Al Din, ia berupaya menyuguhkan kepada masyarakat di masanya bahwa ternyata syariat tidaklah bertentangan dengan tasawuf. Pada jilid I dan II ia memulai menulis buku tersebut dengan membahas ilmu-ilmu syariat yang kemudian pada jilid ke III dan IV ia mulai masuk pada ajaran tasawuf dimana ma’rifat dan hakikat merupakan inti dari ajaran tasawuf.
Upaya mendamaikan kedua kelompok yang berseteru ternyata cukup efektif dan mampu mengeliminir perseteruan yang ada, bahkan mengantarkan Imam Ghazali sebagai tokoh agama yang mempunyai corak yang unik disbanding tokoh-tokoh agama semasanya. Salah satu keunikan yang beliau lakukan adalah pernah masuk ke dalam golongan kaum zindik demi mengetahui seluk beluk kaum zindik itu sendiri. Begitu besar pengorbanan Al Ghazali demi kemajuan keimanan dan keislamannya, terutama keilmuannya. Beliau juga menguasai ilmu filsafat, ilmu kalam, ilmu fikih dan ilmu-ilmu lainnya. Dalam sebuah tulisan, Al Ghazali berkata “ Sejak muda hingga saat ini, ketika usiaku menjelang limapuluh tahun, kuarungi ombak lautan yang dalam ini, kutemukan berbagai rahasia aliran semua kelompok. Aku tidak meninggalkan kecuali aku telah mentelaah kebatiniahannya”. Pada tempat lain menulis “Aku telah mencari ilmu bukan untuk Alloh. Maka ilmu itu tidak mau kecuali bila ilmu itu untuk Allah”.
Perjalanan kerohanian Ghazali bermula ketika terjadi pertentangan batin yang begitu dahsyat yang terjadi dalam dirinya tatkala menjabat sebagai guru besar di bidang ilmu agama pada masa sultan Saljuk. Dengan jabatan yang disandangnya saat itu membuat Ghazali terlena kepada kehidupan dunia. Kemudian beliau memutuskan untuk meninggalkan seluruh harta bendanya termasuk istri dan anaknya guna berkholwat dengan Tuhan untuk memperdalam pengamalan dan pengalaman keberagamaan ditengah penyakit yang menerpanya. Dalam ajaran tasawuf Al Ghazali yang sering dibincangkan adalah teori ma’rifat dan mukasafah, yang keduanya bila ditempuh dengan kerelaan jiwa akan mendapat merasakan kelezatan iman. Tingkatan ini yang menjadi prioritas para ulama tasawuf (sufi) yang sering disebut wihdatul wujud. Dan untuk mejalani segala rutinitas demi mendapatkan kelezatan iman, Al Ghazali telah menuliskan beberapa karya antara lain Ihya Ulumuddin, Al Munqiz min Al Dholal dsb. Pengaruh yang di timbulkan Al Ghazali sangat luas dalam perkembangan tasawuf, bahkan juga berimbas pada kehidupan kerohanian yang ada di nusantarra, yang dibawa oleh wali songo dan para ulama yang belajar dari luar negeri.
Al Ghazali sangat mendambakam mencari ilmu pengetahuan yang mutlaq benar artinya pengetahuan yang pasti dan tidak bisa salah juga tidak diragukan sedikitpun. Maka Imam Al Ghazali mulai melakukan penelitiannya pada filsafat guna meneliti barangkali kebenaran mutlaq berada dalam disiplin ini. Dengan membaca tulisan-tulisan berbagai macam cabang filsafat tanpa guru seorangpun, Al Ghazali telah mampu menguasai ilmu filsafat dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian dari pembacaannya itu, hampir satu tahun ia lalui untuk merenungkan apa yang telah dipadukannya hingga ia paham mana yang benar dan mana yang salah. Ia membagi filosof dalam tiga golongan yaitu, materialis (dahriyyuun), naturalis (thabi’iyyuun), dan theis (ilahiyyuun). Kelompok materialis terdiri dari filosof awal, menyangkal pencipta dan pengatur dunia dan yakin bahwa dunia itu telah ada dengan sendirinya sejak dahulu, dan Al Ghazali selalu mengganggap mereka tidak beragama. Sedangkan kelompok naturalis terpesona dengan keindahan serta keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya, mereka mengakui suatu eksistensi pencipta bijaksana, tetapi mereka menyangkal kerohanian dan keniscayaan jiwa manusia. Kepercayaan kepada surga, neraka dan hari akhir mereka anggap sebagai dongeng nenek moyang atau khayalan para ulama. Dan kemudian golongan theis, kaum ini tergolong kepada para filsuf yang lebih modern seperti Socrates, Plato dan Aristo teles. Meski mereka menyerang golongan materialis dan Naturalis dan menelanjangi mereka dengan efektif sekali, Al Ghazali masih menganggap mereka kafir dan menggunakan faham bid’ah.
Karena tidak puas dengan filsafat, Akhirnya Al Ghazali beralih ke jalan tasawuf, karena dia yakin bahwa para sufi dan orang-orang pencari kebenaran yang betul-betul mencapai tujuan. Pendekatan Al Ghazali dengan jalan ini adalah melalui pendekatan intelektual. Seperti di katakannya sendiri, “pengetahuan itu lebih mudah daripada kegiatan”. Aku memulai dengan membaca buku-buku mereka dan mendapatkan pemahaman intelektual yang menyeluruh tentang prinsip-prinsip mereka. Ia menyadari bahwa para sufi bukanlah orang yang suka kata-kata (Ashab Al Aqwal) tetapi orang yang nyata berpengalaman (Arhab Al Ahwal), dan yang perlu ia lakukan ialah menghayati hidup berlatih dan mengesampingkan dunia. Kemudian ia merasa bahwa yang paling utama dalam prinsip-prinsip itu hanya bisa dicapai lewat pengalaman pribadi, luapan gairah dan suatu perubahan watak.
Setelah menganut tasawuf, Al Ghazali mengabdikan dirinya dengan melakukan latihan-latihan sufi dengan menyepi dan menyendiri (Riyadhoh). Dia menyibukkan diri untuk memurnikan jiwanya dari kekejian, memperindahnya dengan kebajikan-kebajikan dan mengisi jiwa itu dengan dzikir-dzikir kepada Allah SWT, sesuai dengan pengetahuan yang didapatnya dari mempelajari tulisan-tulisan beberapa ahli tasawuf. Dengan latihan jiwa yang berat selama sepuluh tahun yang berturut-turut dilewatinya mulai dari Damaskus, Yerussalem, Hebron, Hijaz, Iraq,Thus. Ia maju pesat di jalan sufi. Banyak rahasia-rahasia yang berhasil dibukukannya selama bertahun-tahun. Dan ia juga yakin sepenuhnya bahwa jalan sufi jalan terbaik yang pantas dilalui oleh manusia. Sikap Al Ghazali terhadap faham sufi tidak pernah berubah sampai akhir hayatnya.
Makanya Kepindahan Al-Ghazali kedunia tasawuf membawa implikasi beliau tertimpa krisis psikis yang cukup serius, karena jalan sufisme yang ia tempuh ini “berbeda” dengan jalan yang ia tempuh selama ini dilaluinya, seperti; mendapat pengakuan, kekayaan, dan kedudukan terhormat yang telah diperolehnya. Kegalauan spiritual ini terjadi tidak kurang enam bulan, sehingga secara fisik Al-Ghazali menurun lemah. Namun setelah ia yakin dengan jalan tasawuf yang ditempuhnya, segera ia sembuh, lalu ia meninggalkan kota bagdad dengan segala kehormatanya untuk menjalaniriyadah ruhiyyah sehingga kebenaran yang tidak mengandung keraguan didapatkanya. Setelah masuk kedunia tasawuf, Al-ghazali berpendapat bahwa suatu ilmu dipandang benar jika sumbernya berasal dari Allah dan rasulnya. Bagi Al-Ghazali, Allah dan rasulnya adalah guru-guru yang dapat mengajar dan memberikan ilmu yang diharapkan, yaitu ilm yaqin yang didalamnya tidak ada keraguan. Jadi tolok ukur kebenaran ilmu, menurut AL-Ghazali adalah Al-Qur’an dan sunnah.
Ada sepuluh kaidah utama yang diletakkan Al-Ghazali dalam ilmu tasawuf yaitu niat yang betul, melakukan amal secara ittiba' bukan ibtida', ikhlas, tidak bertentangan dengan syara', tidak mengulurulur amal baik, tawadhu', takut dan berharap, senantiasa berdzikir, senantiasa mengintrospeksi diri, dan bersungguh-sungguh mempelajari hal-hal yang perlu dilakukan secara lahir dan batin.
Setelah AL-Ghazali menjalani kehidupan tasawuf pada tahun 499 -1105. Fahr Al mulk putra perdan amenteri Nizam Al-mulk meminta Al-Ghazali untuk kembali memimpin perguruan An-Nizamiyyah di Bagdad, tawaran ini ia terima tetapi hanya bertahan dua tahun saja. Setelah itu ia kembali Thus untuk mendirikan Zawiyyah Sufiyyah, semacam pesantren bagi para salik untuk belajar memahami dan mengamalkan tasawuf dibawah bimbingannya sendiri.
Faktor –faktor yang menyebabkan Al-Ghazali mendalami ilmu tasawuf daripada ilmu lain seperti kalam, filsafat dan batiniyyah
1. Munculnya perasaan tarik menarik yang kuat antara keinginan meraih kesengan duniawi dan dorongan memenuhi tuntunan ukhrowi, sehingga ia merasa bimbang dan terombang-ambing.
2. Munculnya kesadaran bahwa selama ini dirinya terjerat oleh ilmu-ilmu yang tidak penting dan tidak bermanfaat untuk menempuh jalan menuju akhirat.
3. Timbul kesadaran bahwa selama ini tidak ada kemurnian niat(ikhlas) dalam segala amal perbuatan termasuk dalam mengajarkan ilmu, karena tercampur oleh dorongan untuk mencari kedudukan dan popularitas.
4. Datangnya panggilan imam dari lubuk hatinya yang terdalam untuk bersiap-siap menyongsong akhirat, karena ia merasa umurnya tinggal sedikit.
5. Tekanan batin yang makin berat akibat hal-hal diatas menyebabkan Al-ghazali sakit secara fisik.
6. Dengan pertolongan Allah ia mampu melepaskan ikatan duniawi danmemulai kehidupan sufistik yang ditempuhnya selama sepuluh tahun, hingga akhirnya ia mendapatkan ilham.
7. Setelah mendapatkan kebenaran yang dicari akhirnya ia kembali kepada keluarganya dan hidup ditengah masyarakat.
Pendekatan Al-Ghazali pada tasawuf melalui pendekatan intelektual. Seperti di katakannya sendiri, “pengetahuan itu lebih mudah daripada kegiatan”. Aku memulai dengan membaca buku-buku mereka dan mendapatkan pemahaman intelektual yang menyeluruh tentang prinsip-prinsip mereka. Ia menyadari bahwa para sufi bukanlah orang yang suka kata-kata (Ashab Al Aqwal) tetapi orang yang nyata berpengalaman (Arhab Al Ahwal), dan yang perlu ia lakukan ialah menghayati hidup berlatih dan mengesampingkan dunia. Kemudian ia merasa bahwa yang paling utama dalam prinsip-prinsip itu hanya bisa dicapai lewat pengalaman pribadi, luapan gairah dan suatu perubahan watak. Setelah menganut tasawuf, Al-Ghazali mengabdikan dirinya dengan melakukan latihan-latihan sufi dengan menyepi dan menyendiri (Riyadhoh). Dia menyibukkan diri untuk memurnikan jiwanya dari kekejian, memperindahnya dengan kebajikan-kebajikan dan mengisi jiwa itu dengan dzikir-dzikir kepada Allah swt, sesuai dengan pengetahuan yang didapatnya dari mempelajari tulisan-tulisan beberapa ahli tasawuf. Dengan latihan jiwa yang berat selama sepuluh tahun yang berturut-turut dilewatinya mulai dari Damaskus, Yerussalem, Hebron, Hijaz, Iraq, dan Thus, Ia maju pesat di jalan sufi. Banyak rahasia-rahasia yang berhasil dibukukannya selama bertahun-tahun. Dan ia juga yakin sepenuhnya bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik yang pantas dilalui oleh manusia
Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Corak tasawuf dalam dunia sufi memang bermacam-macam ragam, pandangan, dan corak yang muncul. Namun kesemua pendapat yang dikemukakan berada pada satu tujuan. Yang berbeda barangkali adalah terletak pada sudut pandang yang mereka pakai. Abu al-Wafat al-Ghanimi al-Taftazani misalnya, memandang bahwa corak tasawuf yang berkembang di kalangan sufi itu ada dua; pertama, corak tasawuf sunni, dimana para pengikut memagari tasawuf mereka dengan al-Qur’an dan al-Sunnah serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya; kedua, corak tasawuf semi-filosofis, di mana para pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat) serta bertolak dari keadaan fana menuju pada penyatuan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Said Agil Siradj juga melihat bahwa corak tasawuf pada dasarnya ada dua; pertama, tasawuf sunni, yaitu tasawuf yang mempunyai karakter dinamis, karena selalu mendahulukan syari’at. Seseorang tidak akan mencapai hakikat bila tidak melalui syari’at. Sedangkan proses pencapaian kepada hakikat itu harus melalui maqamat (terminal-terminal). Dzun Nun al-Misri (w. 245 H) menyebutkan empat maqam, lalu berkembang menjadi tujuh maqam, yaitu taubat, zuhud, wara, faqir, sabar, tawakkal,dan ridla. Bahkan thariqat Qadiriyah menyebutkan empat puluh maqam.
Dalam melewati suatu maqam menuju maqam yang lain, seseorang akan mendapati suatu kondisi efek (baca hal), seperti khauf, raja, fana, fana al-fana dan seterusnya; dan kedua, tasawuf falsafi, dikatakan falsafi karena konteks (maudhu)nya sudah memasuki wilayah ontologi (ilm al-kaun), yakni hubungan dengan alam semesta (kosmologi), sehingga wajarlah jika jenis tasawuf ini berbicara masalah emanasi (al-faidl), inkarnasionisme (hulul), persatuan ruh Tuhan dengan ruh manusia (ittihad), keesaan (wihdat), dan seterusnya. Kemudian bagaimanakah dengan corak tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali, termasuk tasawuf sunni ataukah falsafi? Dalam kaitan ini, Simuh misalnya mengatakan, bahwa dengan bukunya, ihya ulumiddin al-Ghazali menuguhkan suatu ajaran konkrit, penyelarasan ajaran tasawuf dengan syari’at. Tidak ada buku yang luas dan indah dalam upaya menyelaraskan tasawuf dengan syari’at selain ihya ulumiddin.
Mengutamakan perkembangan batin tanpa mengindahkan aturan-aturan lahir, laksana kuda yang tanpa kendali, akan terjerumus ke dalam kesesatan. Pengalaman tasawuf tanpa pedoman dan alat pemersatu syari’at akan membawa chaos kerohanian yang memecah umat manusia menjadi beratus-ratus bahkan ribuan aliran. Hal ini berarti menyimpang dari tujuan tasawuf semula.
Sehingga dapat dikatakan dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Tasawuf yang sunni inilah kemudian diterima oleh kalangan luas dan akhirnya mempunyai pengaruh yang begitu kuat di dunia Islam. Dari sekian panjang perjalanan rohani yang telah dilalui oleh Al-Ghazali, ada beberapa ajaran yang telah dirumuskannya dan terkodifikasi. Al-Ghazali menggunakan tasawuf untuk mencari apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Kebenaran yang dicari itu didapatkan melalui pengalaman batin (dzauq). Dan dengan latihan-latihan yang panjang dan berat, didapatlah ilham yang menerangi hati dari Allah SWT sehingga dengan penerangan itu tersingkaplah kebenaran yang hakiki.
Tasawuf yang dibangun oleh Al-Ghazali mempunyai karakteristik yang berbeda dengan tasawufnya Abu Yazid Al Bustami atau Abu Mansur Al Hallaj yang lebih cenderung kepada rasa cinta kepada Tuhan yang kemudian meninggalkan segalanya. Karakter tasawuf Al-Ghazali adalah tasawuf yang religius sunni yang bertumpu pada kesucian rohani serta keluhuran budi yang merupakan perwujudan paling otentik dan valid dari religiusitas seseorang. Tasawuf yang sunni inilah kemudian diterima oleh kalangan luas dan akhirnya mempunyai pengaruh yang begitu kuat di dunia Islam.
Al-Ghazali juga telah berhasil menghubungkan rumusan-rumusan dogmatic dan formal dari ilmu kalam ortodoks dengan ajaran agama yang dinamis. Sehingga beliaulah pelopor yang telah berhasil dan mampu menghidupkan kembali dua disiplin tersebut dengan semangat wahyu yang orisinil. Artinya dia telah memberi pelajaran yang sangat berharga kepada golongan skolastik murni serta mampu melenturkan watak dogmatis ajaran agama dan memasukkan dimensi yang vital diantara segi-segi lahiriah (eksoterik) dengan segi batiniah (esoteric)
Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Wlad. Untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengannya.
Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat. Ilmu ma’rifat menurut Al-Ghazali, bukanlah didapat semata-mata dengan akal. Ilmu ma’rifat merupakan ilmu yang sebenarnya mengenal tuhan, mengenal hadrat rububiyyah. Ujud tuhan meliputi segala wujud.
Tidak ada yang ujud melainkan Allah dan perbuatanya. Allah dan perbuatanya adalah dua bukan satu. Disinilah Al-Ghazali berbeda dengan Alhallaj dan ulama’ sufi lainya yang berpengaruh. Ujudnya itu adalah kesatuan alam semesta. Alam seluruhnya ini adalah makhluk dan bukti tentang kebesaran dan kekuasaannya apabila telah jelas dalam hati ma’rifat akan tuhanya, hakikat ketuhanan, sifat-sifat dan nikmat rahmat yang terkandung dalam kejadian dunia dan akhirat, itulah kebahagian yang sejati. Sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukan perasaan dan akal budi. Kalbu menurut Al-Ghazali bukanlah anggota badan yang terdapat disebelah kiri dada seseorang, melainkan percikan rohaniah ketuhanan yang merupakat realitas hakikat manusia. Terkadang ia berkaitan dengan segumpal daging manusia. Namun akal budi belum mampu memahami perkaitan antara keduanya.menurutnya kalbu adalah cermin, dan ilmu adalah gambar realitas yang ada didalamnya. Jelasnya, jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat menampilakan realitas-realitas ilmu. Dan yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh. Ketaatan kepada Allah dan keterpalingan dari hawa nafsu itulah yang membuat kalbu berlinang dan cemerlang. Dalam hal ma’rifat ini, beliau sangat menolak faham ulul dan ittihad. Untuk itu beliau menyodorkan faham tentang ma’rifat. Yaitu pendekatan diri kepada Allah tanpa diikuti penyatuan dengannya.
Menurut Al-Ghazali kecerdasan dan kesanggupan akal seseorang berbeda antara satu dengan yang lain. Ada orang yang awam, yaitu manusia biasa dan ada orang khowas yaitu manusia dengan kelebihan kecerdasan. Kemudian beliau membagi beberapa tingkatan manusia menjadi beberapa tingkatan untuk mencapai keimanan dan ketakwaan.
a. Tingkatan orang awam, yaitu mempercayai kabar berita yang dibawa oleh yang dipercayainya.
b. Iman orang alim, dia mendapatkan keimanan dari membandingkan, meneliti dan memeriksa dengan segala kekuatan dan intelektualitasnya.
c. Iman orang arifin. Dia akan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri akan kebenaran itu dengan tidak ada sekat-sekatnya lagi.
Kebahagian menurut Al-Ghazali adalah tujuan terakhir jalan para sufi sebagai sebuah pengenalan terhadap Allah. Jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu beserta amal sebagaimana beliau telah menyatakan, “Seandainya anda memandang ke arah ilmu, niscaya anda akan melihatnya bagaikan begitu lezat sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya. Andapun niscaya mendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiaan, dan juga sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Namun hal ini mustahil tercapai kecuali dengan ilmu dan amal. Al-Ghazali mendasarkan teori kebahagiaan kepada sebuah analisa psikologis, dan ia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari semacam kelezatan dan kebahagiaan.
Kebahagiaan setiap sesuatu adalah kelezatan dan keterbuaian. Maka kelezatan sesuatu itu hendaklah selaras dengan tabiatnya. Adapun kelezatan khusus kalbu adalah pengenalan terhadap Allah. Kelezatan itu sendiri merupakan buah dari pengetahuan. Sebab seandainya seseorang mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui, niscaya dia menjadi gembira. Begitu pula pengetahuan terhadap Allah yang melekat dalam kalbu, niscaya akan membuat gembira seorang yang arif serta membuatnya gelisah menantikan penyaksiannya.
Semakin banyak pengetahua yanga dapat diserap, semakin besarlah tingkat kepuasan dan bertambah mendalamkan rasa kebagiannya, ituah sebabnya orang yang lebih luas ilmu pengetahuannya lebh merasa bahagia dari pada orang yang kurang pengetahuan, semakin tinggi ma'rifatullah seseorang mengenai Tuhan maka ia akan semakin bahagia.
0 Response to "PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI AL-GHAZALI TENTANG TASAUF"
Post a Comment